Investment Society Bantu Gerakkan Ekonomi
Literasi keuangan dan investasi menjadi salah satu topik pada talkshow Ministry of Finance Festival 2021 (Mofest 2021). Kamis (18/11) lalu, dalam sesi “Mofest Talk: From Saving Society to Investment Society” Co-Founder & CEO Ajaib Anderson Sumarli dan Kepala Subdirektorat Pengelolaan Portofolio Surat Utang Negara, Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kementerian Keuangan (DJPPR Kemenkeu) Novi Puspita Wardani, berbicara mengenai bagaimana upaya Kemenkeu dan Ajaib mewujudkan satu mimpi yang sama yaitu peningkatan literasi dan inklusi keuangan ke masyarakat.
Berdirinya Ajaib dilatarbelakangi keresahan Anderson dalam proses pendaftaran investor yang membutuhkan 20 surat perjanjian dan modal Rp20 juta serta pergerakan harga saham yang kurang update (dicetak di halaman belakang koran). Anderson mendirikan Ajaib dengan harapan dapat memberi kemudahan bagi pengguna dalam berinvestasi.
“Per November 2021 baru 2,9 juta penduduk atau hanya 1% dari total populasi Indonesia yang berinvestasi di saham. Minimnya inklusi ini disebabkan kurangnya literasi masyarakat akan produk investasi, dengan alasan terbesar adalah tidak mengenali profil risiko.” jelas Anderson.
Hal ini menggerakkan Ajaib untuk melakukan berbagai terobosan seperti bekerja sama dengan regulator dan memberikan edukasi kepada masyarakat. Tahun lalu, Ajaib menggandeng Bursa Efek Indonesia untuk mengadakan lebih dari 100 kelas pelatihan dan sosialisasi.
Dari sisi pemerintah, dalam hal ini Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melalui DJPPR juga melakukan upaya dalam peningkatan literasi keuangan melalui public campaign. DJPPR Kemenkeu menyediakan instrumen investasi yang rendah risiko yaitu SBN Ritel dengan inovasi penjualan dengan sistem online. SBN ritel low risk bisa menjadi jawaban akan ketakutan dan minimnya pengetahuan masyarakat terkait profil risiko. Instrumen yang diterbitkan oleh Kementerian Keuangan pun beragam dari yang konvensional (ORI dan Saving Bond Ritel) hingga yang berbasis syariah (sukuk ritel dan sukuk tabungan).
“Inklusi keuangan tidak akan terwujud tanpa adanya literasi yang baik. Oleh karena itu, untuk menuju “Investment Society”, masyarakat hendaknya memiliki mindset seorang investor, seperti memahami adanya time value of money atau adanya inflasi yang akan menggerus nilai uang jika kita memilih untuk menabung dibandingkan berinvestasi, adanya future needed dan adanya potensi profit yang lebih besar dengan berinvestasi.” jelas Novi.
Novi menambahkan, negara dengan penduduk yang cenderung berinvestasi akan membentuk iklim modal usaha yang positif dan menggerakkan ekonomi domestik. Banyak perusahaan yang ingin melakukan ekspansi karena mendapatkan akses funding yang lebih masif dan luas.
“Capital market percentage terhadap GDP di Indonesia masih di angka 50%, tertinggal jauh dari Malaysia yang sampai di angka 120%. Dengan shifting dari Saving Society menuju Investment Society akan meningkatkan pertumbuhan ekonomi karena meratanya distribusi pendapatan, mengurangi kemiskinan, mengurangi reliance terhadap foreign funding dan tingkat literasi serta inklusi masyarakat akan memberikan gambaran potensial bagi perusahaan-perusahaan yang ingin ekspansi ke negara kita, karena bukan hanya industri perbankan yang menjadi central funding.” papar Novi.
Sebagai penutup, Anderson menyampaikan bahwa banyak orang yang takut berinvestasi karena pola pikir 0/1 (zero or one). Padahal, investasi bukan berarti harus mempertaruhkan semua pendapatan yang ada, melainkan sesuai dengan titik resiko masing-masing individu.
“Mulai dari 20% pendapatan dulu aja. Jika kita merasa cemas setiap melihat grafik harga maka kurangi persenannya, pun sebaliknya. Find your risk profile.” tegas Anderson.
Novi juga menyampaikan, bahwa Inklusi tidak akan berjalan tanpa adanya literasi, maka orang-orang yang literate dengan baik akan menjadi tulang punggung bangsa.
“Equip yourself with knowledge and skills to start investing. Informasi yang didapat hari ini jangan stuck di kita. Let’s do share.” pungkasnya.